Tindak
pidana selain merupakan masalah kemanusian juga merupakan permasalahan sosial,
bahkan dinyatakan sebagai The oldest
sosial problem.[1]
Menghadapi
masalah ini telah banyak dilakukan upaya untuk menanggulanginya. Salah satu
usaha penanggulangan kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan
sanksinya yang berupa pidana.
Penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban
manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control [2]. Dilihat
sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu
kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan
sanksi pidana.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
Roeslan Saleh mengemukakan tiga alasan urgensi pidana dan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan. Adapun inti alasannya adalah sebagai berikut:[3]
a.
Perlu tidaknya hukum pidana tidak
terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada
persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.
Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam perimbangan
antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi
masing-masing.
b.
Ada usaha-usaha perbaikan atau
perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan disamping
itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah
dilakukannya itu dab tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c.
Pengaruh pidana atau hukum pidana
bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi
orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma
masyarakat.
Pada prinsipnya Pembuatan hukum pidana
merupakan wujud usaha dalam rangka menanggulangi kejahatan, dengan kata lain
setiap perbuatan negatif yang tejadi dimasyarakat tentunya mendapat reaksi dari
masyarakat yang bertujuan untuk menekan kejahatan tersebut. Masyarakat tentunya
tidak membiarkan adanya perbuatan negatif yang terjadi, sehingga dilakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan itu. Usaha masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan ini adalah disebut sebagai Politik Kriminal atau Criminal policy.[4]
Pengertian
politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi dalam arti sempit, lebih luas dan
paling luas, yaitu :[5]
a.
Dalam arti sempit adalah keseluruhan
asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana;
b.
Dalam arti yang lebih luas adalah
keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja
dari pengadilan dan polisi;
c.
Dalam arti paling luas adalah
keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Sudarto menegaskan bahwa dalam
melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan penilaian dari sekian banyak
alternatif mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tersebut.[6] Sejalan
dengan hal tersebut, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:[7]
“Ini berarti suatu politik
kriminal dengan menggunakan kebijakan-kebijakan hukum pidana harus merupakan
suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini
berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat
mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya.
Jadi, diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan ini pun merupakan
pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional” .
Lebih lanjut Barda nawawi arief
mengemukakan bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral
dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).[8] Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak
pidana atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka
kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari
kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (social defence
policy).
Sehubungan
dengan hal tersebut Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan
Muladi menyatakan bahwa :[9]
“Tiap
masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.
Perlindungan
individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum
pidana yang mendasari kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu sistem
hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam
hubungannya dengan hukum secara murni maupun pidana merupakan lembaga-lembaga
(institusi) yang harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum
pidana Marc Ancel menolak penggunaan fiksi –fiksi yuridis dan teknik-teknik
yuridis yang terlepas dari pernyataan sosial.”
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa
politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik
sosial ( yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial).
Upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana merupakan sarana yang hampir selalu digunakan dalam
menghadapi kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Hampir setiap peraturan
perundang-undangan mencantumkan ketentuan pidana di dalam formulasinya. Hukum
pidana tidak selalu dapat menjadi jalan keluar dalam menanggulangi kejahatan.
Hal ini disebabkan hukum pidana itu sendiri memiliki keterbatasan.
Mengidentifikasikan sebab-sebab
keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai
berikut:[11]
a.
Sebab-sebab Barda Nawawi Arief
kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
b.
Hukum pidana hanya merupakan bagian
kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi
masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat
kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi,
sosio-kultural, dan sebagainya);
c.
Penggunaan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahahatan hanya merupakan “kurieren
am symptom”. Oleh karena itu, hukum pidana hanya merupakan “pengobatan
simptomatik” dan bukan merupakan “pengobatan kausatif”;
d.
Sanksi pidana merupakan “remidium” yang mengandung sifat
kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang
negatif;
e.
Sistem pemidanaan bersifat
fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
f.
Keterbatasan jenis sanksi pidana dan
sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
g.
Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana
memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya
tinggi”.
Mengingat keterbatasan tersebut, maka
penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan
dengan melalui pertimbangan yang matang[12]. Dalam
menggunakan sarana penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya
“prinsip-prinsip pembatas” (the limiting
principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain:[13]
a.
jangan hukum pidana digunakan
semata-mata untuk tujuan pembalasan;
b.
jangan menggunakan hukum pidana untuk
mepidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;
c.
jangan menggunakan hukum pidana untuk
mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan
sarana-sarana yang lebih ringan;
d.
jangan menggunakan hukum pidana
apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada
kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
e.
larangan-larangan hukum pidana jangan
mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
f.
Hukum pidana jangan memuat
larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
Lebih lanjut Jeremy Bentham pernah
menyatakan bahwa janganlah pidana dikenakan/digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable, or
inneficacious” [14]. Herbert
L. Pecker juga pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara
sembarangan/tidak pandang bulu/ menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan pidana itu menjadi suatu “pengancam
yang utama” (prime threatener).[15]
Dari uraian di atas maka, penggunaan
sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan penuh
pertimbangan. Selain itu juga, perlu dipertimbangkan bahwa kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial, kebijakan pembangunan nasional,
bagian dari kebijakan kriminal yang juga merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum, karena menanggulangi kejahatan dengan sarana penal merupakan
bagian dari suatu langkah kebijakan.
[1]
Benedict A.
Alper dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi
Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010),
hlm. 20.
[2]
Gene Kassebaum,
Delinguency And Social Policy, (London:
Prentice Hall, Inc., 1974), Hal. 93. Dalam
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Ibid. hlm.
20.
[3]
Ibid, hlm. 22-23.
[4] Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, op. cit.
hlm. 25.
[5] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,
(Bandung: Alumni, 1981) hlm . 113-114.
[6] Ibid, hlm. 114.
[7]
Barda Nawawi
Arief, Kebijakan Legislative Dalam
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1996). hlm. 37.
[8] Ibid, hlm. 2.
[9]
Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 154.
[10]
Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 3.
[11] Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.
74.
[12]
Ibid, hlm. 75.
[13] Ibid
[14]
Ibid, hlm. 165.
[15]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar