Selasa, 31 Juli 2012

KEJAHATAN, POLITIK, DAN KEJAHATAN POLITIK


Subversi selalu identik dengan politik dan merupakan instrunement untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki oleh golongan orang yang berkepentingan. Definisi kejahatan politik itu sendiri tidak ditemukan dalam hukum positif di Indonesia. Kecuali istilah kejahatan politik yang terdapat dalam undang-undang No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dimana dalam pasal 5 Undang-undang tersebut mengatakan bahwa kejahatan politik tidak dapat diekstradisi.
Sebelum diuraikan tentang kejahatan politik atau delik politik harus dimengerti dulu apa sebenarnya yang dianggap sebagai suatu kejahatan itu dan apa yang dianggap sebagai politik tersebut.
a.      Pengertian Kejahatan
Batasan kejahatan menurut Bongers[1] adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan (hukuman). Selanjutnya bonger mengatakan “kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral. Oleh sebab itu maka perbuatan immoral adalah perbuatan anti sosial. Namun demikian haruslah dilihat juga bentuk tingkah lakunya dan masyarakat, sebab perbuatan seseorang tidaklah sama dan suatu perbuatan immoral belum tentu dapat dihukum.
Van Bammelen merumuskan[2], kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan mengatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
Secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercakup dalam undang-undang pidana)[3].
J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro dalam pandangannnya tentang kejahatan mengemukakan:
“berbicara mengenai kejahatan dan penjahat, saya berkesimpulan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penanaman yang relative, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian  dengan tingkah laku (baik positif maupun negatif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan yang anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau hukum yang hidup di masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu”

Melihat apa yang diutarakan oleh JE Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro tersebut, dengan demikian, kategorisasi tentang perbuatan sebagai suatu kejahatan (sesuatu yang dilekati sifat jahat) sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, historis, dan partikular.
b.      Pengertian Politik
Juwono Sudarsono mengatakan[4] politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Meskipun berkali-kali pengertian ini disalah tafsirkan (umpamanya saja anjuran kepada orang untuk tidak terlibat dalam “permainan politik”). Hampir setiap orang sudah sadar bahwa kegiatan melarang berpolitikpun adalah tindakan politik juga. “de-ideologisasi” adalah penekanan akan pentingnya ideology dalam sengketa antar golongan; demikian pula “deparpolisasi”adalah praktek politik untuk melemahkan legitimasi dan kekuatan efektif partai-partai politik.
Dennis Kavanagh mengatakan bahwa memang politik sering hanya dilihat sebagai upaya untuk mendapat kuasa[5]. Cristopher Claphan mengatakan[6] bahwa politik pada hakekatnya dimana-mana adalah sama. Keinginan antara satu manusia dengan manusia yang lain tidak banyak berbeda. Mereka menginginkan kemanan, kekayaan, dan kekuaasaan melalui suatu minat dan ambisi yang khusus. Hal tersebut kadang-kadang menimbulkan suatu konflik diantara mereka. Untuk mencapai tujuan, mereka berkelompok agar dapat mencapai keinginannya. Kelompok tersebut berusaha mempunyai pengaruh serta kekuasaan sehingga lebih berkuasa dari kelompok yang lain.
c.       Kejahatan Politik
Hazewinkel Suringa[7] membedakan antara kejahatan umum dan kejahatan politik mengatakan bahwa seorang penjahat politik tergolong pelaku yang mempunyai keyakinan (overtuigings daders), karena mereka berpendapat pandangannya tentang hukum dan kenegaraan lebih tepat dari pandangan pemerintah Negara tersebut, sedangkan penjahat umum (de gewone dader) tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang berlaku meskipun ia  melanggar peraturan yang ada pada Negara tersebut. Disamping itu dikatakan bahwa penajahat politik justru tidak mengakui sahnya tertib hukum yang berlaku.
Selama ini, kita hanya menemukan “istilah”Kejahatan politik dan bukan “rumusan/pengertian” dalam UU No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dan UU No. 2 tahun 1979 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Dengan Pemerintah Thailand. Dalam kedua undang-undang tersebut dikatakan bahwa pelaku kejahatan politik tidak diekstradisi, sedang apa yang dimaksud dengan delik politik itu sendiri tidak dijelaskan. Sehingga delik politik dalam kaitannya dengan kejahatan keamanan terhadap Negara, yang terdapat dalam KUHP, masih perlu pengkajian khusus karena dimensi delik politik yang terkandung di dalamnya menyangkut kebijakan tertentu dengan menggunakan sarana politik itu sendiri, militer, sosial, ekonomi, keuangan, kebudayaan, dan sebagainya.
Hazewinkel-Soeringa selanjutnya mengutarakan empat teori dalam menetukan delik politik. Keempat teori itu adalah:[8]
a.       Teori Objektif atau disebut juga Teori Absolut.
Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap Negara dan berfungsinya lembaga-lembaga Negara.
b.      Teori Subjektif atau Teori Relatif.
Pada azaznya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik politik.
c.       Teori “Predominan”
Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik, terutama terhadap teori subjektif atau teori relative. Dalam hal ini diperhatikan apa yang “dominan” dari suatu perbuatan. Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbauatan tersebut tidak disebutkan sebagai delik politik.
d.      Teori “political incidence”.
Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.
Seperti halnya di Inggris, kejahatan terhadap keamanan Negara di dalam sistem KUHP Indonesia, dipergunakan teori Obyektif/absolute, sedangkan teori subyektif/relative dianut dalam undang-undang No. 11/PNPS/1963.
Kejahatan politik adalah kejahatan dengan kategori khusus yaitu kejahatan dan konteks dengan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Delik politik disebut delik politik oleh karena kejahatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi (melanggengkan, merubah,menjatuhkan) kekuasaan dalam masyarakat atau kejahatan yang dilakukan oleh orang yang oleh pencapaian keuntungan finasial atau dasar alasan lain dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi memiliki "The Political Power".[9]
Pada dasarnya semua ahli hukum sepakat bahwa delik politik di Indonesia adalah apa yang termuat didalam Undang-Undang Subversif dan Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Secara teoritis hampir disepakati pula bahwa delik politik adalah delik yang dilakukan dengan motif politik dan pelaku delik politik adalah rakyat terhadap pemerintah dan pemerintah terhadap rakyat. Delik politik pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan negara, karena penafsiran sesuatu termasuk ke dalam delik politik sangat tergantung dari keamanan dan komitmen penguasa.
Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah menurut konferensi internasional tentang Hukum Pidana. Konferensi tersebut memberi pengertian tentang kejahatan politik sebagai kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Pengertian tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan delik politik, apakah individu, koorporasi atau negara.  Demikian pula organisasi mana yang dimaksud, sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara.[10]
Delik politik dibedakan antara kejahatan terhadap pemerintah dan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. [11] kejahatan terhadap pemerintah dapat berupa suatu kekerasan yang merupakan protes atas kebijaksaan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintah, keinginan merubah struktur pemerintah diluar ketentuan konstitusi dan sebagainya. Sedangkan delik politik yang dilakukan oleh pemerintah diluar dapat berupa serangan atau ancaman terhadap hak-hak azasi warga, perbuatan kejahatan yang bertalian dengan penyalahgunaaan suatu wewenang dan sebaginya.
Dalam delik politik orang melakukan kejahatan karena suatu keyakinan, pertimbangan atau motivasi politik. Namun dalam mencapai tujuannya seringkali dilakukan melalui perbuatan-perbutan yang merupakan delik biasa, seperti pembunuhan, perampokan, dan sebaginya[12]. Pertimbangannya adalah bahwa perbuatannya tersebut lebih menonjol dari pada motivasi maupun latar belakang dari perbuatannya. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dianggap bukan lagi delik politik akan tetapi merupakan delik umum.
Memang sulit untuk memberikan suatu definisi apa yang dimaksud dengan delik politik. Penjelasan diatas hanya menunjukkan perbedaan antara pelaku pada kejahatan biasa dan kejahatan politik, dan sifat dari perbuatan itu sendiri.
Cristine Van Den Wijngaert[13] secara tipoligis membedakan antara “political offender”, “pseudo-political offender”dan “political refuges”. Yang dimaksud dengan penjahat politik, adalah mereka yang melanggar ketentuan pidana dengan dasar politik dan keyakinannya. Penjahat politik gadungan (pseudo-political offender) seseorang yang melakukan kejahatan yang seolah-olah berlatar belakang politik, atau motivasi politiknya sebenarnya lemah sekali. Motivasi ideology inilah yang akan membedakan apakah seseorang dianggap telah melakukan kejahatan politik biasa ataukah telah melakukan kejahatan politik.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt[14] kejahatan politik secara kriminologis dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama adalah kejahatan politik yang ditujukan kepada negara atau political crimes against the state. Kedua adalah kejahatan politik oleh negara atau domestic political crimes by the state. Ketiga adalah kejahatan politik internasional oleh negara atau internationalpo litical crimes by the state.
Loebby loqman menyimpulkan bahwa UU No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dan delik subversi merupakan delik politik[15]. Pertimbangannya adalah dari sudut pandang penjelasan UU tersebut, juga dapat dilihat pendekatan historis timbulkanya UU tersebut yang dikaitkan pula dengan acuan terbentuknya undang-undang itu kepada perundang-undangan pidana Negara lain yang juga menganut pengaturan tentang kontra revolusi.
Dalam penjelasan UU No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, pada prinsipnya subversi merupakan manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, suatu kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara yang tertutup (covet), dan kemungkinan dibarengi atau dilanjutkan dengan tindakan kekerasaan terbuka (perang, pemberontakan).
Subversi merupakan salah satu cara atau sebagian kegiatan operasi intel, moril, dalam bidang-bidang kehidupan ideology politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan militer. Tujuannya adalah menggulingkan pemerintah Negara dari dalam atau setidak-tidaknya untuk menyeret suatu Negara ke pihak yang dikehendaki oleh pelakunya.
Sistematika kegiatan subversi menurut UU No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi adalah sebagai berikut:
a.       Adanya pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan;
b.      Dilanjutkan dengan suatu perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara tertutup yang sering pula dengan tindakan yang terbuka;
c.       Dengan strategi, taktik, dan teknik tertentu dibidang:
-          Operasi psychologis
-          Pengacauan ekonomi
-          Pengecauan politik
-          Kebudayaan
d.      Bertujuan untuk meruntuhkan Negara dari dalam atau menjatuhkan pemerintah yang sah.
Pasal 1 UU .11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, menyatakan:
(1)   Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi:
1.      Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
a.       Memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideology Negara pancasila atau haluan Negara, atau
b.      Menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan Negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur Negara, atau
c.       Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau diantara Negara RI dengan sesuatu Negara sahabat, atau
d.      Mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industry, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau berdasarkan keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat.
2.      Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan simpati bagi musuh Negara RI atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan Negara RI;
3.      Barangsiapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas;
4.      Barang siapa melakukan kegiatan mata-mata;
5.      Barang siapa melakukan sabotase.
Ternyata demikian luasnya rumusan yang terdapat dalam pasal yang menyebutkan kegiatan subversi, sehingga jika hanya dilihat dari perumusan unsur-unsur perbuatan subversi, hampir semua kegiatan yang melanggar hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan subversi. Akan tetapi perumusan tentang kegiatan subversi di atas, tidak dapat dipisahkan dengan penjelasan dari UU tersebut.


[1] B. Simandjuntak dan I.L. Pasaribu, Kriminologi, (Tarsito, Bandung: 1984). Halaman. 45.
[2] [2] B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi Dan Patalogi Sosial, (Tarsito, Bandung: 1981). Halaman. 72
[3] Kartini Kartono, Patalogi Sosial, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001). Halaman. 126.
[4] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993). Halaman. 42.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, op. cit. Halaman. 46.
[8] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993). Halaman. 46.
[9] Rivan Mubaroq, Kriminalitas Delik Politik Dilihat Dari KUHP, (m.politikana.com, 2011).
[10] Ibid
[11] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, op. cit. Halaman. 52.
[12] Ibid, Halaman. 56.
[13] Ibid, Halaman. 57.
[14] Tanpa Nama, Kejahatan Politik, (www.makalahdanskripsi.blogspot.com, 2011)
[15] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia,  Op.cit. Halaman. 60.



1 komentar:

  1. Casinos Near Casinos - MapYRO
    Find Casinos Near Casinos, hotels, restaurants, shops 안산 출장안마 and other 충청남도 출장마사지 local 제천 출장안마 gems around the world in 2021. Get directions, 이천 출장안마 reviews 구미 출장마사지 and information for

    BalasHapus