Aturan hukum yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah hukum dalam artian hukum positif yaitu
ketentuan dalam bentuk tertulis (peraturan perundang-undangan) maupun tidak
tertulis (norma yang dihormati) yang
berlaku, yang apabila dilanggar maka akan ada sanksi untuk tujuan menciptakan
ketentraman dan ketertiban sosial.
Pemahaman akan hukum
ini penting, karena Indonesia adalah Negara hukum yang mendasari segala sesuatu
berdasarkan aturan. Namun anehnya dalam penerapan, pemahaman akan hukum
cenderung beralih kepada bentuk aturan tertulis dan mengenyampingkan aturan
yang bersifat tidak terlulis (norma dalam masyarakat), padahal untuk diketahui
bahwa sumber hukum yang ada diindonesia itu adalah hukum tidak tertulis dan
hukum tertulis dengan posisi yang sama.
Penting kiranya kita
mencoba menyelami pemikiran para “pejabat”negeri ini, yaitu melihat pengaturan
hukum dibidang lingkungan hidup secara legal
formal. Secara legal formal sudah cukup banyak aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang tata kelola lingkungan hidup, mulai dari aturan yang bersifat
pokok sampai pada pengaturan yang sektoral, diantaranya; UUD 1945, UU No.24
tahun 1992 tentang Tata Ruang, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral Dan
Batu Bara, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak
Dan Gas Bumi, UU No. 5 tahun 1967 Tentang
Hak Pengusahaan Hutan, UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 10/1997
Tentang Ketenaganukliran, PP No. 27 tahun 1999 tentang amdal
dan masih banyak peraturan-peraturan sektoral lainnya.
Dari sekian banyak
aturan hukum, apakah lingkungan yang sekarang kita huni masih tetap sehat dan
baik? mari kita berfikir untuk ini.
Dari segi politik
hukumnya, kebanyakan peraturan perundang-undangan dibidang LH lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan
ekonomi (Economic growth depelovment) dan
demi peningkatan pendapatan serta devisa Negara, sehingga pemamfaatan sumber
daya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi,
dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Akibat yang ditimbulkan dari
praktik-praktik pemamfataan sumber daya alam yang berfokus pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi semata, tanpa memperhatiakan keseimbangan ekologis serta
nilai-nilai sosial dan budaya masyrakat setempat, pasti menimbulkan kerusakan
dan degradasi kuantitas dan kualitas sumber daya alam serta juga dapat
menimbulkan implikasi sosial dan budaya yang cukup memprihatinkan. Seperti
misal;
1.
UU No. 5 tahun 1967 Tentang Hak Pengusahaan Hutan
UU No. 5 tahun 1967
mengenai Hak Pengusahaan Hutan ini mengabaikan hak komunal masyarakat hukum
adat. Didalam UU ini hak yang diatur adalah hak negara dan individu, sedangkan
hak komunal masyarakat adat selama ini belum diakui sebagai legal entity atau entitas hukum yang
setara dengan hak negara dan hak individu.
2.
UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
UU ini
ditengarai berpotensi menghilangkan identitas masyarakat
nelayan adat & tradisional. Dalam UU ini terdapat berbagai permasalahan diantaranya; ranah
yang masih belum jelas masuk dalam pengaturan, apakah kelautan atau perikanan.
Selain itu juga, dengan pemberlakuan UU ini, apakah masyarakat adat diharuskan
memiliki sertifikat HP3 sehingga bisa beroperasi. Selanjutnya, objek dari HP3
itu sendiri dianggap masih belum jelas jika diterapkan di lapangan. Dan yang
terakhir, apakah masyarakat adat sebagai salah satu pihak yang terlibat turut
diberikan hak afirmatif sehingga dapat bekerja dalam ranah mereka secara
maksimal.
M.
Taufiqul Mudjib, Kuasa Hukum Tim Advokasi Tolak HP3 menuturkan bahwa UU ini memutarbalikkan
perspektif pembangunan bangsa Indonesia. “UU Pesisir ini menjadikan Coastal
Zone Act 1972 milik Amerika Serikat sebagai rujukan. Padahal, Indonesia adalah
negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya adalah lautan yang jauh berbeda dengan
Amerika Serikat yang notabene negara kontinental”. Sidang selanjutnya akan
dilaksanakan pada 22 Juni 2010 mendatang dengan agenda penyampaian kesimpulan
dari majelis hakim
3. UU No.
10/1997 Tentang Ketenaganukliran
Secara garis besar UU ini mengatur
6 hal pokok sebagai berikut:
1.
Kelembagaan
2.
Pemamfaatan tenaga nuklir
3.
Pengawasan terhadap pemamfaatan tenaga nuklir
4.
Pengelolaan limbah radio aktif
5.
Pertanggungjawaban kerugian nuklir
6.
Ancaman hukuman pidana
Mengenai ancaman hukum pidana , UU ini menempatkan 4 (empat) pasal pidana
dimana keseluruhannya merupakan ketentuan pidana yang berkaiatan dengan perizinan, sebagai berikut:
1.
Melakukan pemamfaatan tenaga nuklir tanpa izin
2.
Melakukan pemamfaatan tenaga nuklir tanpa izin
kemudian menimbulkan kerugian nuklir
3.
Mengoperasikan reactor nuklir tanapa izin
4.
Tidak menjalankan kewajiban menyimpan limbah radioaktif
bagi penghasil limbah radio aktif.
Meskipun dalam penjelasan umum maupun batang tubuh banyak disebut-sebut
aspek perlindungan lingkungan, namun ketentuan pidana yang terdapat didalamnya
tidak mencerminkan perlindungan terhadap ekosistem, termasuk terhadap kesehatan
dan keselamatan manusia. Apabila melihat ketentuan pidana dalam UU ini, maka
kerugian nuklir, termasuk kematian maupun cacat tidak dapat dipidana apabila
penanggung jawab telah memiliki izin.
Ini tentu masalah, suatu UU yang mengatur kegiatan yang beresiko terhadap
kesehatan, nyawa manusia, dan ekosistem yang sangat tinggi tidak mengatur
secara mandiri ancaman hukuman pidana bagi penyebab kerugian nuklir.
4. UU
No.32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tepatnya
pada tanggal 3 Oktober 2009 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
diundangkanlah Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolahan Lingkungan Hidup.Undang-Undang ini dianggap sebagai penyempurnaan
dan pelengkap dari Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya,yaitu No.32 Tahun
2009 tentang pengelolahan lingkungan Hidup.
Dikarenakan
sebagai penyempurna dan pelengkap, maka pasal-pasal dalam undang-undang ini
(selanjutnya disingkat dengan UU No.32/2009) terlihat semakin garang. Tercatat
sebanyak tujuh belas bab dan 127 pasal termuat/diatur didalamnya. Meskipun
begitu, tidak berarti undang-undang ini tidak punya kekurangan dan kelemahan.UU
No.32/2009`juga bukanlah kitab suci yang tidak dapat dikritis.Justru koreksi
sangat diperlukan agar dalam aplikasi nantinya benar-benar memberi manfaat.
Salah satu
pasal dari UU No.32/2009 yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal 66 .Selengkapnya
pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas linkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara
perdata”
Tentunya
bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal ini.Bahkan sepintas
lalu pasal ini sepertinya menawarkan madu yang manis dan indah. penjelasan Pasal
66 berikut ini: “Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau
pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan / atau perusakan
lingkungan hidup. Perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan
dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan
kemandirian peradilan”.
Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut “…dengan
tetap memperhatikan kemandirian peradilan “,merupakan kalimat kunci yang
dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan janji dari Pasal 66. Artinya
diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 66 masih
harus ditentukan dan diuji lagi oleh peradilan.Bahwa disidang peradilan segala
sesuatu (apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan Pasal 66
karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan
putusannya.
Di Jawa Timur ada kasus yang paling fenomenal yaitu kasus di mana
Cristian Waluyo, seorang aktivis LSM, yang mengadukan CV Karya Indonesia ke
kepolisian atas dugaan tindak pidana lingkungan, namun ternyata justru ybs
sendiri yang di tangkap oleh kepolisian, di gol-kan ke kejaksaan, di tendang
rame-rame ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan Pasal 335 ayat
1 huruf e KUHP, karena melakukan tindakan yang tidak mengenakan Direktur Utama
CV Karya Indonesia. Katanya suruh lapor?Ada lagi kasus yang paling dahsyat
adalah, ketika Sdr. Hendri dan Sugito melaporkan PT. Sarana Surya Sakti (pabrik
sepeda Wim Cycle) ke kepolisian. Tapi kasus tersebut tidak ditangani dan justru
oleh Korem 082 Surabaya Sdr. Hendri ditangkap dan mati dalam peristiwa itu.
Banyak sekali terjadi hal-hal seperti itu dalam kasus-kasus lingkungan.
Penegakan hukum
dibidang Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan pencemaran dan pengrusakan
lingkungan dinilai sangat komplek, kondisi ini tidak hanya dipengaruhi oleh
susahnya pembuktian tetapi karena cukup besarnya pengaruh dari faktor luar,
seperti faktor politik, sosial dan ekonomi.
Dalam UU No. 32/2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan LH, penegakan hukum dibidang LH dapat
diklasifikasikan/dibedakan kedalam 3(tiga) kategori yaitu:
1.
Penegakan hukum lingkungan dalam
relevansinya dengan HAN
a. Peringatan
b. Audit
LH
c. Paksaan
pemerintah
d. Pencabutan
izin
2.
Penegakan hukum lingkungan dalam
relevansinya dengan Hukum Perdata
a. Gugatan
biasa
b. Class
Actions
c. Hak
gugat LSM
d. Hak
gugat instansi
e. Pengelola
LH
f. Strict
liability
3.
Penegakan hukum lingkungan dalam relevansinya
dengan Hukum Pidana.
a. Tindak
pidana biasa
b. Tindak
pidana korporasi
c. Tindak
pidana oleh pejabat yang berwenang
Dalam
penyelesaian “sengketa” lingkungan, masyarakat tidak bisa memilih secara acak
bentuk penyelesaian diatas, tapi harus didasarkan pada urutan yang ada. Dalam
arti bahwa penegakan hukum pidana baru bisa dimulai apabila:
1.
Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi
administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu administrasi
tersebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi ,
atau
2.
Antara perusahaaan yang melakukan
pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi
pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaikan sengketa melalui mekanisme
alternative diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/ perdamaian/ negoisasi/
mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu , dan atau litigasi
melalui pengadilan perdata, tapi upaya tersebut juga tidak efektif, baru bisa
dipakai penegakan hukum pidana LH.
Hal
ini disebabkan karena kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana
administratif atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Kenyataan ini
memberi kesan bahwa perbuatan tersebut dikategorikan “ringan”. Sehingga fungsi
hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum
administrasi. Dengan demikian, keberadaan tindak pidana Lingkungan Hidup
sepenuhnya tergantung pada hukum lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar