Senin, 30 Juli 2012

ATURAN HUKUM DIBIDANG LINGKUNGAN HIDUP(Antara Kemamfaatan Dan Pengrusakan)



Aturan hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hukum dalam artian hukum positif yaitu ketentuan dalam bentuk tertulis (peraturan perundang-undangan) maupun tidak tertulis (norma yang dihormati)  yang berlaku, yang apabila dilanggar maka akan ada sanksi untuk tujuan menciptakan ketentraman dan ketertiban sosial.
Pemahaman akan hukum ini penting, karena Indonesia adalah Negara hukum yang mendasari segala sesuatu berdasarkan aturan. Namun anehnya dalam penerapan, pemahaman akan hukum cenderung beralih kepada bentuk aturan tertulis dan mengenyampingkan aturan yang bersifat tidak terlulis (norma dalam masyarakat), padahal untuk diketahui bahwa sumber hukum yang ada diindonesia itu adalah hukum tidak tertulis dan hukum tertulis dengan posisi yang sama.
Penting kiranya kita mencoba menyelami pemikiran para “pejabat”negeri ini, yaitu melihat pengaturan hukum dibidang lingkungan hidup secara legal formal. Secara legal formal sudah cukup banyak aturan-aturan hukum yang mengatur tentang tata kelola lingkungan hidup, mulai dari aturan yang bersifat pokok sampai pada pengaturan yang sektoral, diantaranya; UUD 1945, UU No.24 tahun 1992 tentang Tata Ruang, UU No. 32 tahun 2009  tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral Dan Batu Bara, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi, UU No. 5 tahun 1967 Tentang  Hak Pengusahaan Hutan, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 10/1997 Tentang Ketenaganukliran, PP No. 27 tahun 1999 tentang amdal dan masih banyak peraturan-peraturan sektoral lainnya.
Dari sekian banyak aturan hukum, apakah lingkungan yang sekarang kita huni masih tetap sehat dan baik? mari kita berfikir untuk ini.
Dari segi politik hukumnya, kebanyakan peraturan perundang-undangan dibidang LH lebih  berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi (Economic growth depelovment) dan demi peningkatan pendapatan serta devisa Negara, sehingga pemamfaatan sumber daya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam. Akibat yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemamfataan sumber daya alam yang berfokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, tanpa memperhatiakan keseimbangan ekologis serta nilai-nilai sosial dan budaya masyrakat setempat, pasti menimbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas dan kualitas sumber daya alam serta juga dapat menimbulkan implikasi sosial dan budaya yang cukup memprihatinkan. Seperti misal;
1.      UU No. 5 tahun 1967 Tentang  Hak Pengusahaan Hutan
UU No. 5 tahun 1967 mengenai Hak Pengusahaan Hutan ini mengabaikan hak komunal masyarakat hukum adat. Didalam UU ini hak yang diatur adalah hak negara dan individu, sedangkan hak komunal masyarakat adat selama ini belum diakui sebagai legal entity atau entitas hukum yang setara dengan hak negara dan hak individu.
2.      UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
UU ini ditengarai berpotensi menghilangkan identitas masyarakat nelayan adat & tradisional. Dalam UU ini  terdapat berbagai permasalahan diantaranya; ranah yang masih belum jelas masuk dalam pengaturan, apakah kelautan atau perikanan. Selain itu juga, dengan pemberlakuan UU ini, apakah masyarakat adat diharuskan memiliki sertifikat HP3 sehingga bisa beroperasi. Selanjutnya, objek dari HP3 itu sendiri dianggap masih belum jelas jika diterapkan di lapangan. Dan yang terakhir, apakah masyarakat adat sebagai salah satu pihak yang terlibat turut diberikan hak afirmatif sehingga dapat bekerja dalam ranah mereka secara maksimal.
M. Taufiqul Mudjib, Kuasa Hukum Tim Advokasi Tolak HP3 menuturkan bahwa UU ini memutarbalikkan perspektif pembangunan bangsa Indonesia. “UU Pesisir ini menjadikan Coastal Zone Act 1972 milik Amerika Serikat sebagai rujukan. Padahal, Indonesia adalah negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya adalah lautan yang jauh berbeda dengan Amerika Serikat yang notabene negara kontinental”. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada 22 Juni 2010 mendatang dengan agenda penyampaian kesimpulan dari majelis hakim
3.      UU No. 10/1997 Tentang Ketenaganukliran
Secara garis besar UU ini mengatur 6 hal pokok sebagai berikut:
1.      Kelembagaan
2.      Pemamfaatan tenaga nuklir
3.      Pengawasan terhadap pemamfaatan tenaga nuklir
4.      Pengelolaan limbah radio aktif
5.      Pertanggungjawaban kerugian nuklir
6.      Ancaman hukuman pidana
Mengenai ancaman hukum pidana , UU ini menempatkan 4 (empat) pasal pidana dimana keseluruhannya merupakan ketentuan pidana yang  berkaiatan dengan perizinan, sebagai berikut:
1.      Melakukan pemamfaatan tenaga nuklir tanpa izin
2.      Melakukan pemamfaatan tenaga nuklir tanpa izin kemudian menimbulkan kerugian nuklir
3.      Mengoperasikan reactor nuklir tanapa izin
4.      Tidak menjalankan kewajiban menyimpan limbah radioaktif bagi penghasil limbah radio aktif.
Meskipun dalam penjelasan umum maupun batang tubuh banyak disebut-sebut aspek perlindungan lingkungan, namun ketentuan pidana yang terdapat didalamnya tidak mencerminkan perlindungan terhadap ekosistem, termasuk terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Apabila melihat ketentuan pidana dalam UU ini, maka kerugian nuklir, termasuk kematian maupun cacat tidak dapat dipidana apabila penanggung jawab telah memiliki izin.
Ini tentu masalah, suatu UU yang mengatur kegiatan yang beresiko terhadap kesehatan, nyawa manusia, dan ekosistem yang sangat tinggi tidak mengatur secara mandiri ancaman hukuman pidana bagi penyebab kerugian nuklir.
4.      UU No.32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tepatnya pada tanggal 3 Oktober 2009 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia diundangkanlah Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan Lingkungan Hidup.Undang-Undang ini dianggap sebagai penyempurnaan dan pelengkap dari Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya,yaitu No.32 Tahun 2009 tentang pengelolahan lingkungan Hidup.
Dikarenakan sebagai penyempurna dan pelengkap, maka pasal-pasal dalam undang-undang ini (selanjutnya disingkat dengan UU No.32/2009) terlihat semakin garang. Tercatat sebanyak tujuh belas bab dan 127 pasal termuat/diatur didalamnya. Meskipun begitu, tidak berarti undang-undang ini tidak punya kekurangan dan kelemahan.UU No.32/2009`juga bukanlah kitab suci yang tidak dapat dikritis.Justru koreksi sangat diperlukan agar dalam aplikasi nantinya benar-benar memberi manfaat.
Salah satu pasal dari UU No.32/2009 yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal 66 .Selengkapnya pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas linkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”
Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal ini.Bahkan sepintas lalu pasal ini sepertinya menawarkan madu yang manis dan indah. penjelasan Pasal 66 berikut ini: “Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan”.
Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut “…dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan “,merupakan kalimat kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan janji dari Pasal 66. Artinya diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 66 masih harus ditentukan dan diuji lagi oleh peradilan.Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan Pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan putusannya.
Di Jawa Timur ada kasus yang paling fenomenal yaitu kasus di mana Cristian Waluyo, seorang aktivis LSM, yang mengadukan CV Karya Indonesia ke kepolisian atas dugaan tindak pidana lingkungan, namun ternyata justru ybs sendiri yang di tangkap oleh kepolisian, di gol-kan ke kejaksaan, di tendang rame-rame ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman pidana berdasarkan Pasal 335 ayat 1 huruf e KUHP, karena melakukan tindakan yang tidak mengenakan Direktur Utama CV Karya Indonesia. Katanya suruh lapor?Ada lagi kasus yang paling dahsyat adalah, ketika Sdr. Hendri dan Sugito melaporkan PT. Sarana Surya Sakti (pabrik sepeda Wim Cycle) ke kepolisian. Tapi kasus tersebut tidak ditangani dan justru oleh Korem 082 Surabaya Sdr. Hendri ditangkap dan mati dalam peristiwa itu. Banyak sekali terjadi hal-hal seperti itu dalam kasus-kasus lingkungan.
Penegakan hukum dibidang Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan pencemaran dan pengrusakan lingkungan dinilai sangat komplek, kondisi ini tidak hanya dipengaruhi oleh susahnya pembuktian tetapi karena cukup besarnya pengaruh dari faktor luar, seperti faktor politik, sosial dan ekonomi.
Dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan LH, penegakan hukum dibidang LH dapat diklasifikasikan/dibedakan kedalam 3(tiga) kategori yaitu:
1.      Penegakan hukum lingkungan dalam relevansinya dengan HAN
a.       Peringatan
b.      Audit LH
c.       Paksaan pemerintah
d.      Pencabutan izin
2.      Penegakan hukum lingkungan dalam relevansinya dengan Hukum Perdata
a.       Gugatan biasa
b.      Class Actions
c.       Hak gugat LSM
d.      Hak gugat instansi
e.       Pengelola LH
f.       Strict liability
3.      Penegakan hukum lingkungan dalam relevansinya dengan Hukum Pidana.
a.       Tindak pidana biasa
b.      Tindak pidana korporasi
c.       Tindak pidana oleh pejabat yang berwenang
            Dalam penyelesaian “sengketa” lingkungan, masyarakat tidak bisa memilih secara acak bentuk penyelesaian diatas, tapi harus didasarkan pada urutan yang ada. Dalam arti bahwa penegakan hukum pidana baru bisa dimulai apabila:
1.       Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu administrasi tersebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi , atau
2.      Antara perusahaaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaikan sengketa melalui mekanisme alternative diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/ perdamaian/ negoisasi/ mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu , dan atau litigasi melalui pengadilan perdata, tapi upaya tersebut juga tidak efektif, baru bisa dipakai penegakan hukum pidana LH.
            Hal ini disebabkan karena kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana administratif atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Kenyataan ini memberi kesan bahwa perbuatan tersebut dikategorikan “ringan”. Sehingga fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif  untuk ditaatinya norma-norma hukum administrasi. Dengan demikian, keberadaan tindak pidana Lingkungan Hidup sepenuhnya tergantung pada hukum lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar