United
Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psychotropic
Substances of 1988
yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1997, merumuskan definisi
money laundering dalam Pasal 3 (1)
sebagai berikut:
“the conversion or
transfer of property, knowing that such property is derived from any serious
(indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence
or offences, for the purpose of cencealing or disguising the illicit of the
property or of assisting any person who is involved in the commission of such
an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The
concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,
movement, rights with respect to, or ownership of property; knowing that such
property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an
act of participation in such an offence or offences”.
Money
laundering diterjemahkan dengan pencucian uang yang dalam Undang-undang No.
15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 didefinisikan
dengan perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah.
Secara umum beberapa
tahap dalam melakukan usaha pencucian uang dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis:[1]
1.
Penempatan
(placement): Merupakan
tindakan menempatkan harta kekayaan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan.
2.
Pemisahan (layering): Merupakan proses pemindahan atau pengubahan harta
kekayaan hasil kejahatan melalui beberapa transaksi yang kompleks dalam rangka
mempersulit pelacakan asal usul dana.
3.
Penggabungan (Integration): Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada
pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman.
Pencucian uang semula dimunculkan sebagai
suatu tindak pidana (kejahatan) berasal dari tindak pidana narkotika dan psikotropika yang sangat pesat terjadi di
Negara maju termasuk Negara di Amerika selatan seperti Mexico, Kolombia, dan
Afrika Selatan seperti Nigeria dan beberapa kepulauan di Pasific, seperti
kepulauan Caymand dan di Kiribia. Pencucian uang merupakan “derivative” dari
kejahatan narkotika dan psikotropika; kemudian diperluas meliputi seluruh aset
atau harta kekayaan yang berasal dari semua tindak pidana.[2]
Masyarakat dunia pada umumnya berpendapat bahwa kegiatan pencucian uang yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat sangat
merugikan masyarakat. John McDowell dan Gary Novis dari Bureau of International
Narcotics and Law Enforcement Affairs, Us Departement Of State, mengemukakan:” money laundering has potentially
devastating economic, security, and social consequences.”[3]
Lambert O Dini,
pada juni 1994, ketika masih menjadi menteri keuangan Italia, mengemukakan: “the social danger of money laundering
concists in the consolidation of the economic power of criminal organizations,
enabling them to pejetrate the legitimate economy.”[4]
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mengemukakan bahwa: “Pencucian
uang dapat mengurangi pendapatan pajak pemerintah karena objek pajaknya tidak
dapat diketahui ke mana larinya. Hal ini juga mengakibatkan pengumpulan pajak
oleh pemerintah menjadi sulit. Sebagai akibat berkurangnya pendapatan pajak
tersebut (loss of revenue) maka
tingkat pembayaran pajak menjadi lebih tinggi (higher tax rates) dari pada tingkat pembayaran pajak normal
seandainya uang hasil kejahatan yang tidak dipajaki itu merupakan dana yang
halal yang dapat dibebani pajak”.
Pencucian uang selalu berhubungan dengan kejahatan yang
dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan (organized
crimes) sehingga dapat disebut sebagai, “jantungnya” organisasi kriminal
ini yang memberikan darah segar ke dalam tubuh organisasi tersebut.[5]
Dalam The National Money Laundering
Strategy For 2000, yang diterbitkan maret 2000 oleh pemerintah Amerika
Serikat, dikemukakan bahwa pemberantasan money
laundering adalah penting karena tiga alasan:[6]
1) Money laundering adalah sarana penting bagi kejahatan yang menghasilkan uang, baik
kejahatan narkoba, kecurangan atau bentuk-bentuk kejahatan lainnya.
2) Money laundering membantu para pejabat Negara asing yang melakukan korupsi untuk dapat
menyembunyikan kekayaan masyarakat yang diperolehnya secara tidak jujur, sering
kali kekayaan itu berupa kekayaan yang diberikan oleh pemerintah amerika
serikat untuk keperluan meningkatkan kehidupan warga Negara
3) Pemberantasan Money laundering (counter money laundering) membantu
amerika serikat untuk mempertahankan integritas
dari system keuangan (financial
system) dan lembaga-lembaga terhadap pengaruh buruk dari uang hasil
kejahatan.
Kegiatan
Pencucian uang telah menjadi kejahatan transnasional dan berdimensi
internasional. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang memenuhi
unsure-unsur transnasional, seperti:[7]
a. Tindakan yang berdampak terhadap lebih dari suatu Negara;
b. Tindakan yang melibatkan warga Negara dari lebih satu Negara;
c. Menggunakan sarana dan metode yang melampaui batas territorial.
Adapun
kejahatan kejahatan yang berdimensi internasional adalah kejahatan yang
memiliki lingkup jaringan yang sangat luas hamper disemua Negara, dan merupakan
ancaman langsung atau tidak langsung atas perdamaian dan keamanan dunia, serta
menggoyahkan perasaan kemanusiaan.[8]
Kegiatan
Pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dan berdimensi internasional,
maka pemberantasannya hanya mungkin dilakukan dengan kerja sama yang erat dan
terus menerus antara Negara-negara didunia melalui kerja sama internasional.
Dalam pelaksanaan hal itu dilakukan dengan membentuk berbagai organisasi atau
kelompok kerja sama, seperti The Financial Task Force On Money Laundering
(FATF), The Asia/Pacific Group On Money Laundering (APG), dan The Basel
Committee.
a.
The Financial Task Force On Money Laundering (FATF)
The
Financial Task Force On Money Laundering (FATF) merupakan salah satu upaya
internasional yang cukup monumental dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang terjadi pada tahun 1989 yaitu pada saat Negara-negara
yang tergabung dalam G-7 Countries menyepakati dibentuknya The Financial Action
Task Force on Money Laundering (FATF), sebagai suatu gugus tugas dengan tugas
menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum,
keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan
peraturan perundangundangan. Pada saat ini keanggotaan FATF berjumlah 31 negara
dan teritori, ditambah 2 organisasi regional. Adapun tiga fungsi utama dari
FATF adalah :
1. Memonitor kemajuan yang dicapai para anggota FATF dalam melaksanakan
langkah-langkah
pemberantasan money laundering;
2. Melakukan kajian mengenai money
laundering trends, techniques dan countermeasures;
dan
3. Mempromosikan pengadopsian dan pelaksanaan standar anti pencucian uang
kepada
masyarakat internasional.[9]
FATF
pada tahun 1990 untuk pertama kalinya mengeluarkan 40 recommendations sebagai
suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi kejahatan money laundering. Dalam Revised
Forty Recommendations yang ditetapkan bulan Juni 2003 yang lalu jelas
disebutkan, bahwa ”countries should
criminalized money laundering on the basic of the 1988 United Nations
Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances
(the Vienna Convention) and the 2000 United Nations Covention on Transnational
Organized Crime (the Palermo Convention)”. [10]
Sebagai
reaksi dari Tragedi WTC atau yang dikenal dengan Peristiwa 11 September 2001,
pada bulan Oktober 2001 FATF mengeluarkan 8
Special Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang
dikenal dengan counter terrorist
financing. Rekomendasi 40+8 menetapkan prinsip-prinsip penyusunan kebijakan
implementasi oleh setiap Negara. Namun demikian, FATF memberikan keleluasaan
kepada setiap Negara dalam mengimplementasikan 40+8 recommendations dengan melihat kondisi dan system hukum yang
berlaku di setiap Negara.[11]
Untuk
mendorong seluruh negara menerapkan Forty
Recommendations, FATF melakukan penilaian terhadap Negara atau teritori
yang menghambat atau dianggap kurang kooperatif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Penilaian ini menggunakan 25
kriteria yang sesuai dengan Forty Recommendations. Hasil penilaian tersebut
ditempatkan dalam suatu daftar yang terbuka untuk umum. Negara yang termasuk
dalam daftar ini diminta segera melakukan tindakan untuk memperbaiki kekurangan
dalam rezim anti money laundering-nya. Setiap transaksi atau hubungan dengan
perorangan, badan usaha yang berasal dari negara yang berada pada daftar NCCT
akan diberikan perhatian khusus, karena dianggap berasal dari high risk country. Kalau tidak ada
perbaikan negara atau teritori tersebut dapat dikenakan tindakan balasan (counter-measures).[12]
b.
The Asia/Pacific Group On Money Laundering (APG)
APG didirikan pada februari 1997 dalam The Fourth Asia/Pacific Money Laundering Symposium yang
diselenggarakan di Bangkok, sebagai suatu badan regional anti pencucian uang
yang otonom. Tujuan APG adalah untuk
memastikan penerimaan (adpotion),
implementasi, dan ditegakkannya (enforcement)
standar anti-money laundering and
counter-terrorist financing yang telah diterima secara internasional
sebagaimana ditentukan dalam FATF Forty
Recommendations dan FATF Eight
Special Recommendations.[13] Upaya-upaya yang dilakukan APG antara lain:
a) Membantu Negara-negara dan wilayah-wilayah yang ada dikawasan asia dan
pacific dalam membuat undang-undang yang berkaitan dengan hasil kejahatan (proceeds of crime);
b) Pemberian hukum timbal balik (mutual
legal assistance);
c) Perampasan (confiscation), Penyitaan
(forfeiture),dan ekstradisi;
d) Memberikan arahan atau petunjuk dalam membentuk sisitem pelaporan dan
investigasi mengenai transaksi-transaksi yang mencurigakan dan membantu
pendirian financial intelligence units.[14]
Setelah
APG didirikan pada tahun 1997 di Bangkok, APG mengadakan pertemuan pertama di
Tokyo pada tahun 1998 dab selanjutnya setiap tahun setelah itu diadakan
pertemuan-pertemuan tahunan. Setelah terjadinya peristiwa 11 september 2001,
APG memperluas ruang lingkupnya termasuk pula memberantas pembiayaan teroris (terrorist financing).
c.
The Basel Committee
Basle Committee didirikan tahun 1974 oleh himpunan bank-bank sentral yang
berasal dari tiga belas negara.[15]
Basle Committee ini tidak mempunyai kewenangan pengawasan atau melaksanakan
pelaksanaan suatu ketentuan. Committee ini mengeluarkan standar, pedoman dan
rekomendasi untuk masalah yang berkaitan dengan pengawasan bank. Ada tiga
produk dari Committee ini yang terkait dengan pencucian uang yaitu:
d.
Statement Of Principles On Money Laundering
Pada
tahun 1988 Committee mengeluarkan Statement
on Prevention of Criminal Use of the Banking System for the Purpose of Money
Laundering (Statement of Principles). Statement ini memberikan dasar
kebijakan dan prosedur yang harus diketahui pengurus bank dalam rangka mencegah
dan memberantas pencucian uang. Ada empat prinsip yang terkandung di dalam statement of principles, yaitu:
1) Perlunya proper customer
identification;
2) Bank perlu memiliki standar etika yang tinggi dan ketaatan terhadap
hukum;
3) Kerjasama bank dengan aparat penegak hukum; dan
4) Perlunya kebijakan dan prosedur untuk menerapkan statement of principles ini.
e.
Core Principles for Effective Banking Supervision
Pada
tahun 1997, the Basle Committee mengeluarkan Core Principles yang meletakkan cetak biru untuk pengawasan bank
yang efektif. Dari 25 core principles
terdapat prinsip ke 15 yang berkaitan dengan money laundering yang berbunyi sebagai berikut:
”Banking Supervisors must determine
that banks have adequate policies, practices and procedures in place, including
”know your customer rules”, that promote high ethical and professional standard
in the financial sector and prevent the bank being used; intentionally or
unintentionally; by criminal elements”.
f.
Customer Due Diligence
Pada
Oktober 2001 Basle Committee menerbitkan makalah tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah berjudul Customer Due
Diligence for Banks. Makalah ini merupakan standar penerapan prinsip
mengenal nasabah yang menyediakan informasi lebih spesifik tentang Statement of Principles dan Core Principle
No. 15. Penerapan prinsip mengenal nasabah ini dimaksudkan untuk melindungi
keamanan dan kesehatan bank dan integritas sistem perbankan. Basle Committee
mendukung sepenuhnya penerapan Forty
Recommendations yang berkaitan dengan bank dan makalah Customer Due Diligence ini dibuat sesuai dengan rekomendasi FATF
tersebut. Berdasarkan inilah kemudian Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan
di Indonesia mengeluarkan ketentuan tentang Prinsip Mengenal Nasabah pada
tanggal 18 Juni 2001 pada waktu makalah Basle Committee tersebut masih
merupakan Consultative Document..[16]
thanks Bray Infonya !!!
BalasHapuswww.kiostiket.com