Senin, 30 Juli 2012

Model Kerja Sama Internasional Dibidang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Perspektif Global


      United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1997, merumuskan definisi money laundering dalam Pasal 3 (1) sebagai berikut:
“the conversion or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of cencealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property; knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences”.
    Money laundering diterjemahkan dengan pencucian uang yang dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 didefinisikan dengan perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah.
    Secara umum beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:[1]
1.     Penempatan (placement): Merupakan tindakan menempatkan harta kekayaan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan.
2.     Pemisahan (layering): Merupakan proses pemindahan atau pengubahan harta kekayaan hasil kejahatan melalui beberapa transaksi yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan asal usul dana.
3.     Penggabungan (Integration): Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman.
    Pencucian uang semula dimunculkan sebagai suatu tindak pidana (kejahatan) berasal dari tindak pidana narkotika dan psikotropika yang sangat pesat terjadi di Negara maju termasuk Negara di Amerika selatan seperti Mexico, Kolombia, dan Afrika Selatan seperti Nigeria dan beberapa kepulauan di Pasific, seperti kepulauan Caymand dan di Kiribia. Pencucian uang merupakan “derivative” dari kejahatan narkotika dan psikotropika; kemudian diperluas meliputi seluruh aset atau harta kekayaan yang berasal dari semua tindak pidana.[2]
    Masyarakat dunia pada umumnya berpendapat bahwa kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat sangat merugikan masyarakat. John McDowell dan Gary Novis dari Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs, Us Departement Of State, mengemukakan:” money laundering has potentially devastating economic, security, and social consequences.”[3]
    Lambert O Dini, pada juni 1994, ketika masih menjadi menteri keuangan Italia, mengemukakan: “the social danger of money laundering concists in the consolidation of the economic power of criminal organizations, enabling them to pejetrate the legitimate economy.”[4]
    Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mengemukakan bahwa: “Pencucian uang dapat mengurangi pendapatan pajak pemerintah karena objek pajaknya tidak dapat diketahui ke mana larinya. Hal ini juga mengakibatkan pengumpulan pajak oleh pemerintah menjadi sulit. Sebagai akibat berkurangnya pendapatan pajak tersebut (loss of revenue) maka tingkat pembayaran pajak menjadi lebih tinggi (higher tax rates) dari pada tingkat pembayaran pajak normal seandainya uang hasil kejahatan yang tidak dipajaki itu merupakan dana yang halal yang dapat dibebani pajak”.
    Pencucian uang selalu berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan (organized crimes) sehingga dapat disebut sebagai, “jantungnya” organisasi kriminal ini yang memberikan darah segar ke dalam tubuh organisasi tersebut.[5] Dalam The National Money Laundering Strategy For 2000, yang diterbitkan maret 2000 oleh pemerintah Amerika Serikat, dikemukakan bahwa pemberantasan money laundering adalah penting karena tiga alasan:[6]
1)    Money laundering adalah sarana penting bagi kejahatan yang menghasilkan uang, baik kejahatan narkoba, kecurangan atau bentuk-bentuk kejahatan lainnya.
2)    Money laundering membantu para pejabat Negara asing yang melakukan korupsi untuk dapat menyembunyikan kekayaan masyarakat yang diperolehnya secara tidak jujur, sering kali kekayaan itu berupa kekayaan yang diberikan oleh pemerintah amerika serikat untuk keperluan meningkatkan kehidupan warga Negara
3)    Pemberantasan Money laundering (counter money laundering) membantu amerika serikat untuk mempertahankan integritas  dari system keuangan (financial system) dan lembaga-lembaga terhadap pengaruh buruk dari uang hasil kejahatan.
    Kegiatan Pencucian uang telah menjadi kejahatan transnasional dan berdimensi internasional. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang memenuhi unsure-unsur transnasional, seperti:[7]
a.    Tindakan yang berdampak terhadap lebih dari suatu Negara;
b.    Tindakan yang melibatkan warga Negara dari lebih satu Negara;
c.    Menggunakan sarana dan metode yang melampaui batas territorial.
    Adapun kejahatan kejahatan yang berdimensi internasional adalah kejahatan yang memiliki lingkup jaringan yang sangat luas hamper disemua Negara, dan merupakan ancaman langsung atau tidak langsung atas perdamaian dan keamanan dunia, serta menggoyahkan perasaan kemanusiaan.[8]
    Kegiatan Pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dan berdimensi internasional, maka pemberantasannya hanya mungkin dilakukan dengan kerja sama yang erat dan terus menerus antara Negara-negara didunia melalui kerja sama internasional. Dalam pelaksanaan hal itu dilakukan dengan membentuk berbagai organisasi atau kelompok kerja sama, seperti The Financial Task Force On Money Laundering (FATF), The Asia/Pacific Group On Money Laundering (APG), dan The Basel Committee.
a.    The Financial Task Force On Money Laundering (FATF)
    The Financial Task Force On Money Laundering (FATF) merupakan salah satu upaya internasional yang cukup monumental dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang terjadi pada tahun 1989 yaitu pada saat Negara-negara yang tergabung dalam G-7 Countries menyepakati dibentuknya The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan peraturan perundangundangan. Pada saat ini keanggotaan FATF berjumlah 31 negara dan teritori, ditambah 2 organisasi regional. Adapun tiga fungsi utama dari FATF adalah :
1.    Memonitor kemajuan yang dicapai para anggota FATF dalam melaksanakan
          langkah-langkah pemberantasan money laundering;
2.    Melakukan kajian mengenai money laundering trends, techniques dan countermeasures; dan
3.    Mempromosikan pengadopsian dan pelaksanaan standar anti pencucian uang
     kepada masyarakat internasional.[9]
    FATF pada tahun 1990 untuk pertama kalinya mengeluarkan 40 recommendations sebagai suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi kejahatan money laundering. Dalam Revised Forty Recommendations yang ditetapkan bulan Juni 2003 yang lalu jelas disebutkan, bahwa ”countries should criminalized money laundering on the basic of the 1988 United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances (the Vienna Convention) and the 2000 United Nations Covention on Transnational Organized Crime (the Palermo Convention)”. [10]
    Sebagai reaksi dari Tragedi WTC atau yang dikenal dengan Peristiwa 11 September 2001, pada bulan Oktober 2001 FATF mengeluarkan 8 Special Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal dengan counter terrorist financing. Rekomendasi 40+8 menetapkan prinsip-prinsip penyusunan kebijakan implementasi oleh setiap Negara. Namun demikian, FATF memberikan keleluasaan kepada setiap Negara dalam mengimplementasikan 40+8 recommendations dengan melihat kondisi dan system hukum yang berlaku di setiap Negara.[11]
    Untuk mendorong seluruh negara menerapkan Forty Recommendations, FATF melakukan penilaian terhadap Negara atau teritori yang menghambat atau dianggap kurang kooperatif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Penilaian ini menggunakan 25 kriteria yang sesuai dengan Forty Recommendations. Hasil penilaian tersebut ditempatkan dalam suatu daftar yang terbuka untuk umum. Negara yang termasuk dalam daftar ini diminta segera melakukan tindakan untuk memperbaiki kekurangan dalam rezim anti money laundering-nya. Setiap transaksi atau hubungan dengan perorangan, badan usaha yang berasal dari negara yang berada pada daftar NCCT akan diberikan perhatian khusus, karena dianggap berasal dari high risk country. Kalau tidak ada perbaikan negara atau teritori tersebut dapat dikenakan tindakan balasan (counter-measures).[12]
b.   The Asia/Pacific Group On Money Laundering (APG)
      APG didirikan pada februari 1997 dalam The Fourth Asia/Pacific Money Laundering Symposium yang diselenggarakan di Bangkok, sebagai suatu badan regional anti pencucian uang yang otonom.  Tujuan APG adalah untuk memastikan penerimaan (adpotion), implementasi, dan ditegakkannya (enforcement) standar anti-money laundering and counter-terrorist financing yang telah diterima secara internasional sebagaimana ditentukan dalam FATF Forty Recommendations dan FATF Eight Special Recommendations.[13]  Upaya-upaya yang dilakukan APG antara lain:
a)    Membantu Negara-negara dan wilayah-wilayah yang ada dikawasan asia dan pacific dalam membuat undang-undang yang berkaitan dengan hasil kejahatan (proceeds of crime);
b)   Pemberian hukum timbal balik (mutual legal assistance);
c)    Perampasan (confiscation), Penyitaan (forfeiture),dan ekstradisi;
d)    Memberikan arahan atau petunjuk dalam membentuk sisitem pelaporan dan investigasi mengenai transaksi-transaksi yang mencurigakan dan membantu pendirian financial intelligence units.[14]
    Setelah APG didirikan pada tahun 1997 di Bangkok, APG mengadakan pertemuan pertama di Tokyo pada tahun 1998 dab selanjutnya setiap tahun setelah itu diadakan pertemuan-pertemuan tahunan. Setelah terjadinya peristiwa 11 september 2001, APG memperluas ruang lingkupnya termasuk pula memberantas pembiayaan teroris (terrorist financing).
c.    The Basel Committee
      Basle Committee didirikan tahun 1974 oleh himpunan bank-bank sentral yang berasal dari tiga belas negara.[15] Basle Committee ini tidak mempunyai kewenangan pengawasan atau melaksanakan pelaksanaan suatu ketentuan. Committee ini mengeluarkan standar, pedoman dan rekomendasi untuk masalah yang berkaitan dengan pengawasan bank. Ada tiga produk dari Committee ini yang terkait dengan pencucian uang yaitu:
d.    Statement Of Principles On Money Laundering
    Pada tahun 1988 Committee mengeluarkan Statement on Prevention of Criminal Use of the Banking System for the Purpose of Money Laundering (Statement of Principles). Statement ini memberikan dasar kebijakan dan prosedur yang harus diketahui pengurus bank dalam rangka mencegah dan memberantas pencucian uang. Ada empat prinsip yang terkandung di dalam statement of principles, yaitu:
1)    Perlunya proper customer identification;
2)    Bank perlu memiliki standar etika yang tinggi dan ketaatan terhadap hukum;
3)    Kerjasama bank dengan aparat penegak hukum; dan
4)    Perlunya kebijakan dan prosedur untuk menerapkan statement of principles ini.
e.    Core Principles for Effective Banking Supervision
    Pada tahun 1997, the Basle Committee mengeluarkan Core Principles yang meletakkan cetak biru untuk pengawasan bank yang efektif. Dari 25 core principles terdapat prinsip ke 15 yang berkaitan dengan money laundering yang berbunyi sebagai berikut:
”Banking Supervisors must determine that banks have adequate policies, practices and procedures in place, including ”know your customer rules”, that promote high ethical and professional standard in the financial sector and prevent the bank being used; intentionally or unintentionally; by criminal elements”.
f.     Customer Due Diligence
    Pada Oktober 2001 Basle Committee menerbitkan makalah tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah berjudul Customer Due Diligence for Banks. Makalah ini merupakan standar penerapan prinsip mengenal nasabah yang menyediakan informasi lebih spesifik tentang Statement of Principles dan Core Principle No. 15. Penerapan prinsip mengenal nasabah ini dimaksudkan untuk melindungi keamanan dan kesehatan bank dan integritas sistem perbankan. Basle Committee mendukung sepenuhnya penerapan Forty Recommendations yang berkaitan dengan bank dan makalah Customer Due Diligence ini dibuat sesuai dengan rekomendasi FATF tersebut. Berdasarkan inilah kemudian Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan di Indonesia mengeluarkan ketentuan tentang Prinsip Mengenal Nasabah pada tanggal 18 Juni 2001 pada waktu makalah Basle Committee tersebut masih merupakan Consultative Document..[16]


                [1] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), Hal. 33.
                [2] Romly Atmasasmita, Globalisasi Dan Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2010), Hal. 52.
                [3]Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Op.Cit,. Hal. 16.
                [4] Ibid
                [5] Romly Atmasasmita, Globalisasi Dan Kejahatan Bisnis, Op. Cit., Hal 53.
                [6] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Op. Cit., Hal. 28-29.
                [7] Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan; Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum, Dan Ham, Loc.Cit.
                [8] Ibid
                [9] Yunus Husein, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Perspektif Hukum Internasional, Op.Cit., Hal. 4
                [10] Ibid, Hal. 5.
                [11] Ibid
                [12] Ibid, Hal. 6.
                [13] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Op.Cit., Hal. 83.
                [14] Ibid, Hal. 85
                [15] Yaitu Belgia, Canada, Prancis, Jerman, Italy, Jepang, Luxemburg, Belanda, Spanyol, Swedia, Inggris dan Amerika Serikat.
                [16] Ketentuan mengenai prinsip mengenal nasabah pertama kali diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001. Kemudian PBI tersebut mengalami perubahan bebarapa kali.


1 komentar: