Subversi
selalu identik dengan politik dan merupakan instrunement untuk mencapai
tujuan-tujuan politik yang dikehendaki oleh golongan orang yang berkepentingan.
Definisi kejahatan politik itu sendiri tidak ditemukan dalam hukum positif di
Indonesia. Kecuali istilah kejahatan politik yang terdapat dalam undang-undang
No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dimana dalam pasal 5 Undang-undang tersebut
mengatakan bahwa kejahatan politik tidak dapat diekstradisi.
Sebelum
diuraikan tentang kejahatan politik atau delik politik harus dimengerti dulu
apa sebenarnya yang dianggap sebagai suatu kejahatan itu dan apa yang dianggap
sebagai politik tersebut.
a.
Pengertian Kejahatan
Batasan
kejahatan menurut Bongers[1]
adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar
dari Negara berupa pemberian penderitaan (hukuman). Selanjutnya bonger
mengatakan “kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral. Oleh sebab itu
maka perbuatan immoral adalah perbuatan anti sosial. Namun demikian haruslah
dilihat juga bentuk tingkah lakunya dan masyarakat, sebab perbuatan seseorang
tidaklah sama dan suatu perbuatan immoral belum tentu dapat dihukum.
Van Bammelen
merumuskan[2],
kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan
menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu,
sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan mengatakan penolakannya
atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan
tersebut.
Secara
sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku
yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan
masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum
tercakup dalam undang-undang pidana)[3].
J.E. Sahetapy
dan B. Mardjono Reksodiputro dalam pandangannnya tentang kejahatan
mengemukakan:
“berbicara mengenai kejahatan dan penjahat, saya
berkesimpulan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu
pengertian dan penanaman yang relative, mengandung variabilitas dan dinamik
serta bertalian dengan tingkah laku
(baik positif maupun negatif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau
minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan yang anti sosial, suatu perkosaan
terhadap skala nilai sosial dan atau hukum yang hidup di masyarakat sesuai
dengan ruang dan waktu”
Melihat apa
yang diutarakan oleh JE Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro tersebut, dengan
demikian, kategorisasi tentang perbuatan sebagai suatu kejahatan (sesuatu yang
dilekati sifat jahat) sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat subyektif,
historis, dan partikular.
b.
Pengertian Politik
Juwono
Sudarsono mengatakan[4]
politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial
budaya. Meskipun berkali-kali pengertian ini disalah tafsirkan (umpamanya saja
anjuran kepada orang untuk tidak terlibat dalam “permainan politik”). Hampir
setiap orang sudah sadar bahwa kegiatan melarang berpolitikpun adalah tindakan
politik juga. “de-ideologisasi” adalah penekanan akan pentingnya ideology dalam
sengketa antar golongan; demikian pula “deparpolisasi”adalah praktek politik
untuk melemahkan legitimasi dan kekuatan efektif partai-partai politik.
Dennis
Kavanagh mengatakan bahwa memang politik sering hanya dilihat sebagai upaya
untuk mendapat kuasa[5].
Cristopher Claphan mengatakan[6]
bahwa politik pada hakekatnya dimana-mana adalah sama. Keinginan antara satu
manusia dengan manusia yang lain tidak banyak berbeda. Mereka menginginkan
kemanan, kekayaan, dan kekuaasaan melalui suatu minat dan ambisi yang khusus.
Hal tersebut kadang-kadang menimbulkan suatu konflik diantara mereka. Untuk
mencapai tujuan, mereka berkelompok agar dapat mencapai keinginannya. Kelompok
tersebut berusaha mempunyai pengaruh serta kekuasaan sehingga lebih berkuasa
dari kelompok yang lain.
c.
Kejahatan Politik
Hazewinkel
Suringa[7]
membedakan antara kejahatan umum dan kejahatan politik mengatakan bahwa seorang
penjahat politik tergolong pelaku yang mempunyai keyakinan (overtuigings daders), karena mereka berpendapat pandangannya
tentang hukum dan kenegaraan lebih tepat dari pandangan pemerintah Negara
tersebut, sedangkan penjahat umum (de
gewone dader) tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang berlaku meskipun
ia melanggar peraturan yang ada pada
Negara tersebut. Disamping itu dikatakan bahwa penajahat politik justru tidak
mengakui sahnya tertib hukum yang berlaku.
Selama ini,
kita hanya menemukan “istilah”Kejahatan politik dan bukan “rumusan/pengertian”
dalam UU No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dan UU No. 2 tahun 1979 Tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Dengan Pemerintah Thailand. Dalam kedua
undang-undang tersebut dikatakan bahwa pelaku kejahatan politik tidak
diekstradisi, sedang apa yang dimaksud dengan delik politik itu sendiri tidak
dijelaskan. Sehingga delik politik dalam kaitannya dengan kejahatan keamanan
terhadap Negara, yang terdapat dalam KUHP, masih perlu pengkajian khusus karena
dimensi delik politik yang terkandung di dalamnya menyangkut kebijakan tertentu
dengan menggunakan sarana politik itu sendiri, militer, sosial, ekonomi,
keuangan, kebudayaan, dan sebagainya.
Hazewinkel-Soeringa
selanjutnya mengutarakan empat teori dalam menetukan delik politik. Keempat
teori itu adalah:[8]
a.
Teori
Objektif atau disebut juga Teori Absolut.
Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap Negara dan
berfungsinya lembaga-lembaga Negara.
b.
Teori Subjektif atau Teori Relatif.
Pada azaznya semua
delik umum yang dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta tujuan
politik, merupakan suatu delik politik.
c.
Teori “Predominan”
Teori ini membatasi
pengertian yang luas dari delik politik, terutama terhadap teori subjektif atau
teori relative. Dalam hal ini diperhatikan apa yang “dominan” dari suatu
perbuatan. Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbauatan
tersebut tidak disebutkan sebagai delik politik.
d.
Teori “political incidence”.
Teori ini melihat
perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.
Seperti halnya di Inggris,
kejahatan terhadap keamanan Negara di dalam sistem KUHP Indonesia, dipergunakan
teori Obyektif/absolute, sedangkan teori subyektif/relative dianut dalam
undang-undang No. 11/PNPS/1963.
Kejahatan politik adalah kejahatan dengan kategori
khusus yaitu kejahatan dan konteks dengan pembagian kekuasaan dalam masyarakat.
Delik politik disebut delik politik oleh karena kejahatan tersebut dimaksudkan untuk
mempengaruhi (melanggengkan, merubah,menjatuhkan) kekuasaan dalam masyarakat
atau kejahatan yang dilakukan oleh orang yang oleh pencapaian keuntungan
finasial atau dasar alasan lain dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi
memiliki "The Political Power".[9]
Pada dasarnya semua ahli hukum sepakat bahwa delik
politik di Indonesia adalah apa yang termuat didalam Undang-Undang Subversif
dan Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Secara teoritis
hampir disepakati pula bahwa delik politik adalah delik yang dilakukan dengan
motif politik dan pelaku delik politik adalah rakyat terhadap pemerintah dan
pemerintah terhadap rakyat. Delik politik pada dasarnya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan negara, karena penafsiran
sesuatu termasuk ke dalam delik politik sangat tergantung dari keamanan dan
komitmen penguasa.
Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah
menurut konferensi internasional tentang Hukum Pidana. Konferensi tersebut
memberi pengertian tentang kejahatan politik sebagai kejahatan yang menyerang
organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut.
Pengertian tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan
delik politik, apakah individu, koorporasi atau negara. Demikian pula organisasi mana yang dimaksud,
sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara.[10]
Delik politik dibedakan antara kejahatan terhadap
pemerintah dan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. [11]
kejahatan terhadap pemerintah dapat berupa suatu kekerasan yang merupakan
protes atas kebijaksaan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintah, keinginan
merubah struktur pemerintah diluar ketentuan konstitusi dan sebagainya.
Sedangkan delik politik yang dilakukan oleh pemerintah diluar dapat berupa
serangan atau ancaman terhadap hak-hak azasi warga, perbuatan kejahatan yang
bertalian dengan penyalahgunaaan suatu wewenang dan sebaginya.
Dalam delik politik orang melakukan kejahatan karena
suatu keyakinan, pertimbangan atau motivasi politik. Namun dalam mencapai
tujuannya seringkali dilakukan melalui perbuatan-perbutan yang merupakan delik
biasa, seperti pembunuhan, perampokan, dan sebaginya[12].
Pertimbangannya adalah bahwa perbuatannya tersebut lebih menonjol dari pada
motivasi maupun latar belakang dari perbuatannya. Hal inilah yang menjadi dasar
bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dianggap bukan lagi delik politik akan
tetapi merupakan delik umum.
Memang sulit untuk memberikan suatu definisi apa
yang dimaksud dengan delik politik. Penjelasan diatas hanya menunjukkan
perbedaan antara pelaku pada kejahatan biasa dan kejahatan politik, dan sifat
dari perbuatan itu sendiri.
Cristine Van Den Wijngaert[13]
secara tipoligis membedakan antara “political
offender”, “pseudo-political offender”dan “political refuges”. Yang dimaksud dengan penjahat politik, adalah
mereka yang melanggar ketentuan pidana dengan dasar politik dan keyakinannya.
Penjahat politik gadungan (pseudo-political
offender) seseorang yang melakukan kejahatan yang seolah-olah berlatar
belakang politik, atau motivasi politiknya sebenarnya lemah sekali. Motivasi
ideology inilah yang akan membedakan apakah seseorang dianggap telah melakukan
kejahatan politik biasa ataukah telah melakukan kejahatan politik.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt[14]
kejahatan politik secara kriminologis dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama adalah kejahatan politik yang
ditujukan kepada negara atau political
crimes against the state. Kedua
adalah kejahatan politik oleh negara atau domestic
political crimes by the state. Ketiga adalah kejahatan politik
internasional oleh negara atau
internationalpo litical crimes by the state.
Loebby loqman menyimpulkan bahwa UU No.11/PNPS/1993
Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dan delik subversi merupakan delik
politik[15].
Pertimbangannya adalah dari sudut pandang penjelasan UU tersebut, juga dapat
dilihat pendekatan historis timbulkanya UU tersebut yang dikaitkan pula dengan
acuan terbentuknya undang-undang itu kepada perundang-undangan pidana Negara
lain yang juga menganut pengaturan tentang kontra revolusi.
Dalam penjelasan UU No.11/PNPS/1993 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi, pada prinsipnya subversi merupakan manifestasi
pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, suatu
kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara yang
tertutup (covet), dan kemungkinan
dibarengi atau dilanjutkan dengan tindakan kekerasaan terbuka (perang,
pemberontakan).
Subversi merupakan salah satu cara atau sebagian
kegiatan operasi intel, moril, dalam bidang-bidang kehidupan ideology politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan dan militer. Tujuannya adalah menggulingkan
pemerintah Negara dari dalam atau setidak-tidaknya untuk menyeret suatu Negara
ke pihak yang dikehendaki oleh pelakunya.
Sistematika kegiatan subversi menurut UU
No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi adalah sebagai berikut:
a. Adanya
pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan;
b. Dilanjutkan
dengan suatu perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara
tertutup yang sering pula dengan tindakan yang terbuka;
c. Dengan
strategi, taktik, dan teknik tertentu dibidang:
-
Operasi psychologis
-
Pengacauan ekonomi
-
Pengecauan politik
-
Kebudayaan
d. Bertujuan
untuk meruntuhkan Negara dari dalam atau menjatuhkan pemerintah yang sah.
Pasal 1 UU .11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi, menyatakan:
(1) Dipersalahkan
melakukan tindak pidana subversi:
1. Barang
siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud
atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
a. Memutar
balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideology Negara pancasila atau haluan
Negara, atau
b. Menggulingkan,
merusak, atau merongrong kekuasaan Negara atau kewibawaan pemerintah yang sah
atau aparatur Negara, atau
c. Menyebarkan
rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan,
kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan penduduk atau
masyarakat yang bersifat luas atau diantara Negara RI dengan sesuatu Negara
sahabat, atau
d. Mengganggu,
menghambat atau mengacaukan bagi industry, produksi, distribusi, perdagangan,
koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau
berdasarkan keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap
hajat hidup rakyat.
2. Barang
siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan simpati bagi
musuh Negara RI atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan Negara RI;
3. Barangsiapa
melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk
kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas;
4. Barang
siapa melakukan kegiatan mata-mata;
5. Barang
siapa melakukan sabotase.
Ternyata demikian luasnya rumusan yang terdapat
dalam pasal yang menyebutkan kegiatan subversi, sehingga jika hanya dilihat
dari perumusan unsur-unsur perbuatan subversi, hampir semua kegiatan yang
melanggar hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan subversi. Akan tetapi
perumusan tentang kegiatan subversi di atas, tidak dapat dipisahkan dengan
penjelasan dari UU tersebut.
[1] B.
Simandjuntak dan I.L. Pasaribu, Kriminologi,
(Tarsito, Bandung: 1984). Halaman. 45.
[2] [2]
B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi
Dan Patalogi Sosial, (Tarsito, Bandung: 1981). Halaman. 72
[3]
Kartini Kartono, Patalogi Sosial, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001).
Halaman. 126.
[4]
Loebby Loqman, Delik Politik Di
Indonesia, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993). Halaman. 42.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Loebby
Loqman, Delik Politik Di Indonesia, op.
cit. Halaman. 46.
[8]
Loebby Loqman, Delik Politik Di
Indonesia, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993). Halaman. 46.
[9] Rivan
Mubaroq, Kriminalitas Delik Politik Dilihat
Dari KUHP, (m.politikana.com, 2011).
[10] Ibid
[11]
Loebby Loqman, Delik Politik Di
Indonesia, op. cit. Halaman. 52.
[12] Ibid, Halaman. 56.
[13] Ibid, Halaman. 57.
[14]
Tanpa Nama, Kejahatan Politik, (www.makalahdanskripsi.blogspot.com,
2011)
[15]
Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia,
Op.cit. Halaman. 60.