Selasa, 31 Juli 2012

KEJAHATAN, POLITIK, DAN KEJAHATAN POLITIK


Subversi selalu identik dengan politik dan merupakan instrunement untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki oleh golongan orang yang berkepentingan. Definisi kejahatan politik itu sendiri tidak ditemukan dalam hukum positif di Indonesia. Kecuali istilah kejahatan politik yang terdapat dalam undang-undang No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dimana dalam pasal 5 Undang-undang tersebut mengatakan bahwa kejahatan politik tidak dapat diekstradisi.
Sebelum diuraikan tentang kejahatan politik atau delik politik harus dimengerti dulu apa sebenarnya yang dianggap sebagai suatu kejahatan itu dan apa yang dianggap sebagai politik tersebut.
a.      Pengertian Kejahatan
Batasan kejahatan menurut Bongers[1] adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan (hukuman). Selanjutnya bonger mengatakan “kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral. Oleh sebab itu maka perbuatan immoral adalah perbuatan anti sosial. Namun demikian haruslah dilihat juga bentuk tingkah lakunya dan masyarakat, sebab perbuatan seseorang tidaklah sama dan suatu perbuatan immoral belum tentu dapat dihukum.
Van Bammelen merumuskan[2], kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan mengatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
Secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercakup dalam undang-undang pidana)[3].
J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro dalam pandangannnya tentang kejahatan mengemukakan:
“berbicara mengenai kejahatan dan penjahat, saya berkesimpulan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penanaman yang relative, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian  dengan tingkah laku (baik positif maupun negatif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan yang anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau hukum yang hidup di masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu”

Melihat apa yang diutarakan oleh JE Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro tersebut, dengan demikian, kategorisasi tentang perbuatan sebagai suatu kejahatan (sesuatu yang dilekati sifat jahat) sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, historis, dan partikular.
b.      Pengertian Politik
Juwono Sudarsono mengatakan[4] politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Meskipun berkali-kali pengertian ini disalah tafsirkan (umpamanya saja anjuran kepada orang untuk tidak terlibat dalam “permainan politik”). Hampir setiap orang sudah sadar bahwa kegiatan melarang berpolitikpun adalah tindakan politik juga. “de-ideologisasi” adalah penekanan akan pentingnya ideology dalam sengketa antar golongan; demikian pula “deparpolisasi”adalah praktek politik untuk melemahkan legitimasi dan kekuatan efektif partai-partai politik.
Dennis Kavanagh mengatakan bahwa memang politik sering hanya dilihat sebagai upaya untuk mendapat kuasa[5]. Cristopher Claphan mengatakan[6] bahwa politik pada hakekatnya dimana-mana adalah sama. Keinginan antara satu manusia dengan manusia yang lain tidak banyak berbeda. Mereka menginginkan kemanan, kekayaan, dan kekuaasaan melalui suatu minat dan ambisi yang khusus. Hal tersebut kadang-kadang menimbulkan suatu konflik diantara mereka. Untuk mencapai tujuan, mereka berkelompok agar dapat mencapai keinginannya. Kelompok tersebut berusaha mempunyai pengaruh serta kekuasaan sehingga lebih berkuasa dari kelompok yang lain.
c.       Kejahatan Politik
Hazewinkel Suringa[7] membedakan antara kejahatan umum dan kejahatan politik mengatakan bahwa seorang penjahat politik tergolong pelaku yang mempunyai keyakinan (overtuigings daders), karena mereka berpendapat pandangannya tentang hukum dan kenegaraan lebih tepat dari pandangan pemerintah Negara tersebut, sedangkan penjahat umum (de gewone dader) tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang berlaku meskipun ia  melanggar peraturan yang ada pada Negara tersebut. Disamping itu dikatakan bahwa penajahat politik justru tidak mengakui sahnya tertib hukum yang berlaku.
Selama ini, kita hanya menemukan “istilah”Kejahatan politik dan bukan “rumusan/pengertian” dalam UU No.1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, dan UU No. 2 tahun 1979 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Dengan Pemerintah Thailand. Dalam kedua undang-undang tersebut dikatakan bahwa pelaku kejahatan politik tidak diekstradisi, sedang apa yang dimaksud dengan delik politik itu sendiri tidak dijelaskan. Sehingga delik politik dalam kaitannya dengan kejahatan keamanan terhadap Negara, yang terdapat dalam KUHP, masih perlu pengkajian khusus karena dimensi delik politik yang terkandung di dalamnya menyangkut kebijakan tertentu dengan menggunakan sarana politik itu sendiri, militer, sosial, ekonomi, keuangan, kebudayaan, dan sebagainya.
Hazewinkel-Soeringa selanjutnya mengutarakan empat teori dalam menetukan delik politik. Keempat teori itu adalah:[8]
a.       Teori Objektif atau disebut juga Teori Absolut.
Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap Negara dan berfungsinya lembaga-lembaga Negara.
b.      Teori Subjektif atau Teori Relatif.
Pada azaznya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik politik.
c.       Teori “Predominan”
Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik, terutama terhadap teori subjektif atau teori relative. Dalam hal ini diperhatikan apa yang “dominan” dari suatu perbuatan. Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbauatan tersebut tidak disebutkan sebagai delik politik.
d.      Teori “political incidence”.
Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.
Seperti halnya di Inggris, kejahatan terhadap keamanan Negara di dalam sistem KUHP Indonesia, dipergunakan teori Obyektif/absolute, sedangkan teori subyektif/relative dianut dalam undang-undang No. 11/PNPS/1963.
Kejahatan politik adalah kejahatan dengan kategori khusus yaitu kejahatan dan konteks dengan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Delik politik disebut delik politik oleh karena kejahatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi (melanggengkan, merubah,menjatuhkan) kekuasaan dalam masyarakat atau kejahatan yang dilakukan oleh orang yang oleh pencapaian keuntungan finasial atau dasar alasan lain dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi memiliki "The Political Power".[9]
Pada dasarnya semua ahli hukum sepakat bahwa delik politik di Indonesia adalah apa yang termuat didalam Undang-Undang Subversif dan Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Secara teoritis hampir disepakati pula bahwa delik politik adalah delik yang dilakukan dengan motif politik dan pelaku delik politik adalah rakyat terhadap pemerintah dan pemerintah terhadap rakyat. Delik politik pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan negara, karena penafsiran sesuatu termasuk ke dalam delik politik sangat tergantung dari keamanan dan komitmen penguasa.
Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah menurut konferensi internasional tentang Hukum Pidana. Konferensi tersebut memberi pengertian tentang kejahatan politik sebagai kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Pengertian tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan delik politik, apakah individu, koorporasi atau negara.  Demikian pula organisasi mana yang dimaksud, sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara.[10]
Delik politik dibedakan antara kejahatan terhadap pemerintah dan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. [11] kejahatan terhadap pemerintah dapat berupa suatu kekerasan yang merupakan protes atas kebijaksaan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintah, keinginan merubah struktur pemerintah diluar ketentuan konstitusi dan sebagainya. Sedangkan delik politik yang dilakukan oleh pemerintah diluar dapat berupa serangan atau ancaman terhadap hak-hak azasi warga, perbuatan kejahatan yang bertalian dengan penyalahgunaaan suatu wewenang dan sebaginya.
Dalam delik politik orang melakukan kejahatan karena suatu keyakinan, pertimbangan atau motivasi politik. Namun dalam mencapai tujuannya seringkali dilakukan melalui perbuatan-perbutan yang merupakan delik biasa, seperti pembunuhan, perampokan, dan sebaginya[12]. Pertimbangannya adalah bahwa perbuatannya tersebut lebih menonjol dari pada motivasi maupun latar belakang dari perbuatannya. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dianggap bukan lagi delik politik akan tetapi merupakan delik umum.
Memang sulit untuk memberikan suatu definisi apa yang dimaksud dengan delik politik. Penjelasan diatas hanya menunjukkan perbedaan antara pelaku pada kejahatan biasa dan kejahatan politik, dan sifat dari perbuatan itu sendiri.
Cristine Van Den Wijngaert[13] secara tipoligis membedakan antara “political offender”, “pseudo-political offender”dan “political refuges”. Yang dimaksud dengan penjahat politik, adalah mereka yang melanggar ketentuan pidana dengan dasar politik dan keyakinannya. Penjahat politik gadungan (pseudo-political offender) seseorang yang melakukan kejahatan yang seolah-olah berlatar belakang politik, atau motivasi politiknya sebenarnya lemah sekali. Motivasi ideology inilah yang akan membedakan apakah seseorang dianggap telah melakukan kejahatan politik biasa ataukah telah melakukan kejahatan politik.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt[14] kejahatan politik secara kriminologis dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama adalah kejahatan politik yang ditujukan kepada negara atau political crimes against the state. Kedua adalah kejahatan politik oleh negara atau domestic political crimes by the state. Ketiga adalah kejahatan politik internasional oleh negara atau internationalpo litical crimes by the state.
Loebby loqman menyimpulkan bahwa UU No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dan delik subversi merupakan delik politik[15]. Pertimbangannya adalah dari sudut pandang penjelasan UU tersebut, juga dapat dilihat pendekatan historis timbulkanya UU tersebut yang dikaitkan pula dengan acuan terbentuknya undang-undang itu kepada perundang-undangan pidana Negara lain yang juga menganut pengaturan tentang kontra revolusi.
Dalam penjelasan UU No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, pada prinsipnya subversi merupakan manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, suatu kelanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara yang tertutup (covet), dan kemungkinan dibarengi atau dilanjutkan dengan tindakan kekerasaan terbuka (perang, pemberontakan).
Subversi merupakan salah satu cara atau sebagian kegiatan operasi intel, moril, dalam bidang-bidang kehidupan ideology politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan militer. Tujuannya adalah menggulingkan pemerintah Negara dari dalam atau setidak-tidaknya untuk menyeret suatu Negara ke pihak yang dikehendaki oleh pelakunya.
Sistematika kegiatan subversi menurut UU No.11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi adalah sebagai berikut:
a.       Adanya pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan;
b.      Dilanjutkan dengan suatu perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara tertutup yang sering pula dengan tindakan yang terbuka;
c.       Dengan strategi, taktik, dan teknik tertentu dibidang:
-          Operasi psychologis
-          Pengacauan ekonomi
-          Pengecauan politik
-          Kebudayaan
d.      Bertujuan untuk meruntuhkan Negara dari dalam atau menjatuhkan pemerintah yang sah.
Pasal 1 UU .11/PNPS/1993 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, menyatakan:
(1)   Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi:
1.      Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
a.       Memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideology Negara pancasila atau haluan Negara, atau
b.      Menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan Negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur Negara, atau
c.       Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau diantara Negara RI dengan sesuatu Negara sahabat, atau
d.      Mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industry, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau berdasarkan keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat.
2.      Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan simpati bagi musuh Negara RI atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan Negara RI;
3.      Barangsiapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas;
4.      Barang siapa melakukan kegiatan mata-mata;
5.      Barang siapa melakukan sabotase.
Ternyata demikian luasnya rumusan yang terdapat dalam pasal yang menyebutkan kegiatan subversi, sehingga jika hanya dilihat dari perumusan unsur-unsur perbuatan subversi, hampir semua kegiatan yang melanggar hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan subversi. Akan tetapi perumusan tentang kegiatan subversi di atas, tidak dapat dipisahkan dengan penjelasan dari UU tersebut.


[1] B. Simandjuntak dan I.L. Pasaribu, Kriminologi, (Tarsito, Bandung: 1984). Halaman. 45.
[2] [2] B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi Dan Patalogi Sosial, (Tarsito, Bandung: 1981). Halaman. 72
[3] Kartini Kartono, Patalogi Sosial, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001). Halaman. 126.
[4] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993). Halaman. 42.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, op. cit. Halaman. 46.
[8] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993). Halaman. 46.
[9] Rivan Mubaroq, Kriminalitas Delik Politik Dilihat Dari KUHP, (m.politikana.com, 2011).
[10] Ibid
[11] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, op. cit. Halaman. 52.
[12] Ibid, Halaman. 56.
[13] Ibid, Halaman. 57.
[14] Tanpa Nama, Kejahatan Politik, (www.makalahdanskripsi.blogspot.com, 2011)
[15] Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia,  Op.cit. Halaman. 60.



MODEL ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN BERBAGAI KELEMAHAN DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30/ 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
1.   Model Aternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelessaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
a.    Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam  UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah :
Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject.
Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
b.   Negosiasi:

Negosiasi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa secara kompromi (kooperatif antar pihak) dengan tujuan pemecahan masalah bersama. Alternative penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:
1.    negosiasi memberi peluang yang sangat luas bagi para pihak untuk menentukan pilihan-pilihannya
2.    Tidak bergantung pada norma hukum tertulis
3.    Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk bisa menang secara bersama-sama.
4.    semua pihak memperoleh kesempatan untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam proses negosiasi.
Sedangkan yang menjadi kelemahan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga negosiasi ini, yakni diantaranya adalah:
1.    Tidak ada kepercayaaan antara para pihak yang bersengketa dalam menyelesaiakan suatu sengketa tertentu.
2.    Dalam negosiasi seringkali yang terjadi adalah tidak ada satu upaya pun untuk mencoba saling mendengarkan kehendak dan keinginan masing-masing pihak yang sedang pihak.
c.    Mediasi:

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan konflik atau sengketa di mana pihak luar atau pihak ketiga  yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa atau konflik untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:
1.    Keputusan yang hemat
2.    Penyelesaian secara cepat
3.    Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak
4.    Kesepakatan yang komprehensif
5.    Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan
6.    Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada proses mediasi terletak pada kekuatan eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai dengan cara suka rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang suka rela pula. Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para pihak yang benar-benar secara suka rela menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan demikian, mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama proses mediasi pun tetap secara suka rela harus diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
d.    Konsoliasi
UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30  Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untukuntuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.
e.    Arbitrase
Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini adalah diantaranya, yaitu:
1.    Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
2.    Dapat dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan kerena hal procedural dan administratif
3.    Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tampat penyelenggaraan arbitrase.
Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui Lembaga arbitrase ini adalah bahwa lembaga arbitrase tidak memilikii kekuatan  eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.
2.   Berbagai Kelamahan Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki beberapa kelemahan substansial, yakni diantaranya adalah:
1.   Nama Perundang-Undangan
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak mengatur tentang lembaga arbitrase, sedangkan untuk alternative penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli) tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak mencerminkan isi dari Undang-undang ini. Sehingga kedepannya pembentuk Undang-undang lebih memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai dengan substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa yang akan datang.
2.   Syarat Pengangkatan Arbiter
Persyaratan Arbriter diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa:
(1)  Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
a.    Cakap melakukan tindakan hukum;
b.    Berumur paling rendah 35 tahun;
c.    Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
d.    Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e.    Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 5 Tahun.
(2)  Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Dalam kaitannya dengan syarat-syarat untuk menjadi arbiter sebagaimana diatur pada Pasal 12 (e) tidak ada ratio logisnya penentuan 15 tahun pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya. Ada tiga persoalan disini, yakni: pertama ,penentuan 15 tahun dihitung dari mana dan apakah 15 tahun itu berlangsung secara terus menerus? Kedua, siapa yang berkompeten dalam menilai adanya pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya tersebut? Ketiga, apakah semata-mata berdasarkan penilaian atau harus dibuktikan melalui sertifikasi keahlian yang diterbitkan oleh asosiasi profesi atau lembaga yang kompetensi?
Seharusnya kriteria semacam itu lebih rinci sehingga memberikan kepastian hukum sebagaimana dapat dilihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang tersebut telah mengatur secara rinci mengenai persyaratan menjadi advokat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tersebut.
3.   Pengaturan Mediasi
Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Namun, ayat selanjutnya, yakni ayat (4), menyatakan apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator? 
4.   Hak Ingkar
Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hak ingkar diatur dalam Pasal  22 sampai dengan Pasal 26.  Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Permasalahan berkaitan dengan hak ingkar pada dasarnya adalah bahwa Hak ingkar bisa dijadikan sebagai sarana bagi pihak yang beritikad buruk untuk menunda putusan. Dengan demikian, seyogyanya peluang hak ingkar ini dipersempit dengan menegaskan bahwa hak ingkar dapat dilakukan jika memang sudah terbukti bahwa arbiriter berada dalam posisi yang tidak  netral.
5.   Arbitrase On-line
Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa belum ada ketentuan yang mengatur arbitrase on-line. Hal ini menjadi permasalahan karena pada saat ini perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik  (e-commerce)  mengalami perkembangan yang pesat. Dalam hal ini kedepannya perlu diatur mekanisme arbitrase on-line antara lain dengan memanfaatkan teknologi teleconference atau videoconference.






Senin, 30 Juli 2012

Penggunaan Hukum Pidana Dalam Menghadapi Masalah Kejahatan Yang Terjadi Di Masyarakat

       Tindak pidana selain merupakan masalah kemanusian juga merupakan permasalahan sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest sosial problem.[1] Menghadapi masalah ini telah banyak dilakukan upaya untuk menanggulanginya. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.
      Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control [2]. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana.
      Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Roeslan Saleh mengemukakan tiga alasan urgensi pidana dan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan. Adapun inti alasannya adalah sebagai berikut:[3]
a.    Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam perimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
b.    Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dab tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c.    Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
      Pada prinsipnya Pembuatan hukum pidana merupakan wujud usaha dalam rangka menanggulangi kejahatan, dengan kata lain setiap perbuatan negatif yang tejadi dimasyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat yang bertujuan untuk menekan kejahatan tersebut. Masyarakat tentunya tidak membiarkan adanya perbuatan negatif yang terjadi, sehingga dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan itu. Usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan ini adalah disebut sebagai Politik Kriminal atau Criminal policy.[4]
        Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :[5]
a.    Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b.    Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c.    Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

      Sudarto menegaskan bahwa dalam melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan penilaian dari sekian banyak alternatif mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tersebut.[6] Sejalan dengan hal tersebut, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:[7]
“Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan-kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi, diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan ini pun merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional” .

      Lebih lanjut Barda nawawi arief mengemukakan bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan  pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).[8] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
      Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).
     Sehubungan dengan hal tersebut Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa :[9]
“Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.
Perlindungan individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana yang mendasari kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni maupun pidana merupakan lembaga-lembaga (institusi) yang harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana Marc Ancel menolak penggunaan fiksi –fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari pernyataan sosial.”

      Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial ( yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial).     
      Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan sarana yang hampir selalu digunakan dalam menghadapi kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Hampir setiap peraturan perundang-undangan mencantumkan ketentuan pidana di dalam formulasinya. Hukum pidana tidak selalu dapat menjadi jalan keluar dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini disebabkan hukum pidana itu sendiri memiliki keterbatasan.
      Mengidentifikasikan sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut:[11]
a.    Sebab-sebab Barda Nawawi Arief kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
b.    Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dan sebagainya);
c.    Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”. Oleh karena itu, hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan merupakan “pengobatan kausatif”;
d.    Sanksi pidana merupakan “remidium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
e.    Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
f.     Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
g.    Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.

      Mengingat keterbatasan tersebut, maka penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan melalui pertimbangan yang matang[12]. Dalam menggunakan sarana penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain:[13]
a.    jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;
b.    jangan menggunakan hukum pidana untuk mepidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;
c.    jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana yang lebih ringan;
d.    jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
e.    larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
f.     Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

      Lebih lanjut Jeremy Bentham pernah menyatakan bahwa janganlah pidana dikenakan/digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable, or inneficacious” [14]. Herbert L. Pecker juga pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/ menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime threatener).[15]
      Dari uraian di atas maka, penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan. Selain itu juga, perlu dipertimbangkan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial, kebijakan pembangunan nasional, bagian dari kebijakan kriminal yang juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum, karena menanggulangi kejahatan dengan sarana penal merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan.


[1] Benedict A. Alper dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media,             2010), hlm. 20.
[2] Gene Kassebaum, Delinguency And Social Policy, (London: Prentice Hall, Inc., 1974), Hal. 93. Dalam             Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Ibid. hlm. 20.
[3] Ibid, hlm. 22-23.
[4] Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,  op. cit. hlm. 25.
[5] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung:  Alumni, 1981) hlm . 113-114.
[6] Ibid, hlm. 114.
[7] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996). hlm. 37.
[8] Ibid, hlm. 2.
[9] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm.     154.
[10] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 3.
[11] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,       (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 74.
[12] Ibid, hlm. 75.
[13] Ibid
[14] Ibid, hlm. 165.
[15] Ibid